Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur

Proses evakuasi korban reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo pada Minggu (5/10/2025) dini hari© Dok. Basarnas Surabaya

Proses evakuasi korban reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo pada Minggu (5/10/2025) dini hari © Dok. Basarnas Surabaya

Wartaflash.com – Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, minggu lalu tidak hanya menyisakan kesedihan mendalam karena 37 korban meninggal, tetapi juga mengingatkan kita betapa rentannya budaya konstruksi yang aman di Indonesia.

Secara teknis, sebuah bangunan yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan sesuai standar seharusnya tidak bisa runtuh tiba-tiba.

Menurut Anggota DPR RI Komisi V dari Fraksi PKB, Sudjatmiko, kejadian di Sidoarjo menjadi pembelajaran berharga bahwa nyawa manusia tidak boleh dijadikan taruhan dalam proses pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik dan tidak diawasi secara profesional.

Runuhnya bangunan pendidikan, terutama pesantren yang menampung ratusan santri, seringkali langsung diklaim sebagai “ketentuan Tuhan” atau “musibah alam.”

Padahal, dari perspektif teknik sipil, Sudjatmiko menegaskan bahwa masalah utamanya justru berasal dari buruknya konstruksi yang sebenarnya bisa dicegah.

Empat Kesalahan Konstruksi yang Ancam Keselamatan

Kegagalan struktur, khususnya pada bangunan yang dibangun secara swadaya seperti pesantren atau fasilitas komunitas, sering terjadi berulang dan berpola.

Sudjatmiko mengungkapkan empat faktor utama yang menyebabkan kerentanan ini:

Yang pertama, perencanaan struktur yang tidak memadai.

Banyak bangunan swadaya dibangun tanpa melibatkan teknisi sipil yang bersertifikat.

“Perhitungan mengenai beban, struktur, dan material tidak pernah diuji sesuai standar nasional,” ujar Sudjatmiko kepada Kompas.com, Minggu (5/10/2025).

Yang kedua, penggunaan bahan baku yang tidak memenuhi standar.

Untuk menghemat anggaran, pembangun swadaya sering mengganti bahan seperti baja tulangan, semen, atau pasir dengan kualitas yang lebih rendah dari spesifikasi. Penggunaan bahan baku yang buruk langsung melemahkan daya dukung bangunan.

Yang ketiga, kurangnya pengawasan profesional.

Proses pemasangan material dan tahapan konstruksi di lapangan tidak diawasi oleh insinyur sipil yang berkualifikasi.

“Fungsi pengawasan sangat penting agar setiap langkah konstruksi berjalan sesuai rencana teknis yang disepakati,” ujarnya.

Yang keempat, mengabaikan kondisi tanah.

Banyak pihak tidak melakukan kajian geoteknik terhadap kondisi tanah.

Kasus Sidoarjo, yang sebagian besar terletak di tanah lunak, memerlukan desain pondasi yang kuat dan khusus.

Tanpa kajian geoteknik, bangunan rentan amblas, retak, atau miring sebelum mencapai masa pakai yang seharusnya.

Dalam bidang teknik sipil, setiap desain selalu mengandung faktor keamanan.

Runuhnya bangunan secara tiba-tiba, bahkan tanpa adanya gempa besar, adalah tanda adanya kesalahan berat sejak tahap awal, baik dalam perhitungan, pemilihan bahan, maupun pelaksanaan di lapangan.

Tragedi Kemanusiaan di Balik Kesalahan Teknis
Konstruksi fasilitas pendidikan dan keagamaan memiliki beban sosial dan moral yang lebih tinggi.

Ratusan nyawa santri dan tenaga pengajar terancam dalam asrama, masjid, dan ruang belajar.
Maka, setiap kesalahan teknis berarti sebuah tragedi kemanusiaan.

Selama ini, pembangunan dianggap cukup hanya dengan niat baik saja tanpa diiringi standar teknis yang ketat, sehingga risiko kejadian serupa bisa terus terjadi, kata Sudjatmiko.

Pesantren, sebagai pusat pembinaan moral, seharusnya memprioritaskan keselamatan penghuni sebagai tanggung jawab moral dan spiritual yang utama, yang diwujudkan melalui kualitas bangunan yang baik.

Blueprint Mitigasi: Agar Tragedi Al Khoziny Tidak Terulang
Tragedi Sidoarjo harus menjadi titik balik bagi ratusan pesantren dan fasilitas komunitas lainnya.
Sudjatmiko memberikan beberapa langkah mitigasi yang harus segera diterapkan.

Setiap pembangunan harus dimulai dengan perhitungan struktur dan pondasi yang dilakukan oleh konsultan teknik sipil dan arsitek yang berizin sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pemerintah daerah dan asosiasi profesi teknik sipil juga perlu melakukan audit kelayakan secara berkala terhadap bangunan pesantren, terutama yang menampung banyak santri, mencakup kondisi pondasi, kolom, dan kualitas bahan konstruksi.

Selain itu, diperlukan penegakan regulasi yang ketat.
Pembangunan fasilitas berbasis komunitas tidak boleh dilakukan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau kini menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), perhitungan struktur, serta pengawasan oleh pihak profesional.

Kualitas bahan bangunan juga harus diperiksa dan diuji sesuai prosedur SNI, termasuk merujuk pada SNI 1726:2019 tentang pengelolaan ketahanan gempa.

Tidak kalah penting, pemerintah perlu menyediakan skema bantuan khusus untuk renovasi dan standarisasi bagi pesantren yang ingin memperbaiki atau membangun fasilitas sesuai standar konstruksi yang aman.

Tragedi ambruknya bangunan pesantren bukan hanya kerugian materiil atau berita singkat.
Ini adalah alarm kolektif yang meminta perubahan mendasar dalam cara Indonesia membangun.

“Kegagalan struktur adalah kegagalan sistem yang harus diperbaiki segera, demi melindungi nyawa generasi bangsa,” tutup Sudjatmiko.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *