Dugaan Ledakan SMAN 72 Bukan Dipicu Bullying

Gubernur Jakarta Pramono Anung
Wartaflash.com – Insiden ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11) lalu, mengenai siswa dan guru. Setelah seminggu berlalu, pihak berwenang telah berhasil mengungkap motif pelaku.
Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa aksi pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta tidak dilatarbelakangi oleh kasus bullying, melainkan dipengaruhi oleh konten media sosial.
“Para siswa SMA 72 menyampaikan bahwa tidak ada bullying yang terjadi,” kata Pramono dalam wawancara yang dilansir dari situs detik News, Jumat (14/11/2025).
Motif tersebut didapatkan dari pengakuan para siswa.
Menurut Pramono, pelaku kurang mendapat perhatian dan bimbingan dari lingkungan sekitarnya, serta orang tuanya yang telah bercerai. Saat ini, pelaku hanya tinggal bersama ayahnya.
“Keluarga pelaku antara orang tua terpisah.
Selama ini dia tinggal bersama ayahnya yang bekerja sebagai chef dan sibuk,” terangnya.
“Memperhatikan dari tujuh bom yang dipersiapkan, cara pembawaannya serta pakaian yang menyerupai tokoh film Rambo, mungkin ini dipengaruhi oleh YouTube dan media sosial,” tambah Pramono.
Tiga Nama Pelaku Teror Ditemukan dalam Senjata Terduga Pelaku
Terdapat tiga nama pelaku teror yang terdapat dalam benda yang mirip senjata api yang digunakan oleh pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta.
Berdasarkan informasi dari 20detik, ketiga nama pelaku serangan tersebut adalah:
Brenton Harrison Tarrant: Warga Australia yang melakukan penembakan massal di dua masjid di Selandia Baru pada 15 Maret 2019.
Aksinya menewaskan lebih dari 50 orang.
Alexandre Bissonnete: Pria asal Kanada yang melakukan penembakan terhadap jemaah di sebuah masjid di Quebec City pada 29 Januari 2017.
Dalam aksinya, enam orang tewas dan 19 lainnya terluka. Kejadian ini terjadi tidak lama setelah Kanada membuka pintu bagi masyarakat Muslim. Ia mendapatkan hukuman seumur hidup.
Luca Traini: Warga Italia yang menembak enam migran asal Afrika di Kota Macerata pada Februari 2018.
Ia sempat tertangkap kamera memberi salam yang bernafaskan fasisme sebelum ditangkap polisi. Ia dihukum 12 tahun penjara atas tindakan yang bermotif rasial.






